Senin, 28 Maret 2016
Kamis, 11 Februari 2016
lakon ide, karya sufyan Ts
lakon
ide
Sufyan TS
/A/
Di tempat yang kotor dan tohor, terdapat
sebuah rumah yang agak jelek. Cahaya mulai menerangi rumah itu, menandakan pagi
telah tiba. suasana sejuk dan daunan berhamburan. Tumpukan daun menghalangi jalan
yang ada di depan rumah itu.
/B/
Di depan rumah itu terdapat orang
laki-laki sedang menyaksikan lingkungan yang kotor dan tohor. Kepalanya sambil
menggeleng.
“Aduh… sampah-sampah payah! Ternyata
masih ada sampah yang sebanyak ini.”
Orang itu menggeleng semakin kencang,
karena tak tahan melihat sampah dan daun berserakan.
“Kalau begini kapan Indonesia sehat?!.”
Lalu dia melirik pada sapu yang digantung di dindin rumah.
“ada alat pembersih tidak digunakan! hidup
rakyat jadi jelata. seandainya saya jadi presiden, rakyat-rakyat hidupnya akan
enak, dan semua serba enak. Lingkungan bersih, takkan ada satu sampah pun yang
masih tertinggal. Pekerjaan mereka akan enak, tiap hari mereka nyantai di
rumahnya, lalu tiba-tiba uang datang, enak kan!”
Kakinya melangkah ke sapu itu.
“Ini sapu-sapu, dan aku jadi tukang
sapu. Aku masih belum menjadi presiden, mungkin besok lusa aku jadi presiden”
Sapu itu diangkat tinggi, lalu menyapulah dedaunan dan sampah berserakan. Di
saat menyapu, orang itu menemukan celana dalam yang busuk. Tangannya segera
meraihnya
“Seperti inilah tukang sapu,
menemukan celana dalam di tumpukan sampah. Sebenarnya aku muak dalam hidup ini,
karena hidupku penuh beban sehari-hari, yaitu tukang sapu.”
Dia mengambil meja di depan pohon, di
letakkan depan pohon
“Semua ini berawal dari cita-cita
tukan sampah, yah! Ini kenyatannya semua pekerjaan sampah serba susah, belum
lagi pakain-pakain yang mau dicuci”
Lalu celana dalam itu dilempar jauh
hingga tak terlihat.
“Jadi tukang sapu tak enak, kalau
jadi pesilat?”
Berdiam sebentar(lagi mikir)
“Jadi pesilat badan sakitan semua.
Kadang bisa patah atau bahkan mati”
Lalu dia duduk
di atas kursi panjang tepat bawah pohon. Dia sedang berfikir, entah berfikir
apa?
“Apakah ada di dunia ini pekerjaan
yang mudah tanpa beban?”
Kakinya mendekat itumpukan daun.
“Coba seandainya daun ini adalah uang,
aku akan kaya, dan menjadi jutawan.”
Lalu daun-daun itu dihambur-hamburkan
dan berteriak.
“Hahaha… Aku kaya!!!”
Diam sebentar.
“Tapi uang ini kuapakan? Dan semua
uang ini pasti hasil bekerja. Tapi pekerjaan apa? Kalau pekerjaan jadi
sastrawan, tanganku pegal-pegal. Kalau pekerjan tidur?”
Dia masih berfikir
“Enak kalau pekerjaanya tidur,
apalagi di atas kasur.”
Kemudia ia beranjak ke pintu
rumah.masuk.
/C/
Dari dalam rumah, orang tadi membawa
kasur kecil untuk praktek pekerjaan tidur.
“Kalau tidur pasti enak.”
Kasur itu pun di hampar, nan berbaring
diatasnya.
“Enak… Seperti melayang diatas awan,
dan waktunya memejamkan mata…”
Beberapa detik, orang itu seperti
digigit nyamuk, sehingga tangannya mengamuk pada kulitnya. Dia berguling-guling
sehingga melewati batas kasur. Lama-kelamaan dia berdiri.
“Aduh! Kalau tidur terus digigit,
nyamuk. Masak di dunia ini tidak ada pekerjaan yang tiap harinya nyantai terus … Tanpa sakit dan tanpa beban.”
Angan-angannya selalu tiap hari nyata
tanpa bekerja. Namun ia masih mencari pekerjaan apa yang nyantai tanpa beban.
“Tuhan…!!! Berikanlah kami pekerjaan
yang tiap hari nyantai…. Kalau tuhan tidak memberikan , maka tuhan tidak adil…”
Dia berteriak selantangnya
“Apakah aku harus jadi anak kecil
lagi? Bermain: motor-motoran, kuda-kuda-an, robot-robotan. Mungkin itu pekerjan
yang sangat santai dan menyenangkan.”
Lagi-lagi dia masuk rumah.
/D/
Dari dalam rumah, mainan-mainan ditabur keluar, dari boneka
sampai robot-robotan. Setelah mengeluarkan semua mainan di rumah itu, dia pun
tertawa terbahak-bahak di pintu rumah
“Inilah mainanku sejak kecil, yang
selalu menghiburku. Mana punya kalian?! Apa mungkin kalian tak punya mainan?
Masa kecil kurang bahagia ya? Hahaha…”
Lalu diambillah boneka monyet. Dan
menari-nari bersamanya. Capek menari dengan boneka monyet, ia pun duduk berduan
seperti orang pacaran.
“Kamu mau minum apa monyetku sayang?”
Monyet itu malah diam.
“Apa kamu sedang galau? Atau mungkin
capek?”
monyet tak menjawab lagi.
“biarku carikan teman, oke?”
Orang itu pun mencarikan lagi boneka
sebagai temannya. Lalu ia dapati boneka kelinci.
“Ini
temanmu, perkenalkan ini kelinci. Dan mulai sekarang kamu punya teman.”
Diam sejenak.
“Biarku ambilkan teh, tunggu sebentar
di sini.”
Orang itu masuk rumah.
/E/
Orang itu telah berganti pakain,
seperti tukang masak. Dua cangkir teh yang masih hangat, diantarkan pada boneka
monyet dan kelinci.
“Silahkan minum tehnya.”
Hanya satu cangkir yang diberikan,
satunya diminum sendiri.
“Ahh… Enak… Inilah pekerjaan yang
sangat santai. Tapi kalau begini terus, kapan aku dapat duit? Kalau pelayannya
boneka. Kan aku butuh uang, tanpa uang dari mana aku makan?”
lalu dia menoleh kebelakang, menatap boneka.
Boneka masih terdiam.
“Itu lihat diberi minuman dia tidak
mau. Aku pengen menjadi dia. Dia tanpa makan, minum, tidur, terus bahagia tiap
harinya.”
Dia melangkah pada boneka yang dua
itu.
“Apakah kamu bahagia tiap harinya?”
Lama tak menjawab. Sehingga orang itu marah,
dan dilempar boneka dan tehnya.
“Aku tak betah hidup di dunia ini,
karena tad ada pekerjaanyang santai, selalu menjadi beban dalam hidupku. Lantas
aku harus jadi apa?”
Dengus nafasnya mulai meninggi.
Seakan-akan terjadi kemarahan pada dirinya. Tangannya mengepal sangat keras.
Raut wajahnya berubah marah.
“Aku muak hidup ini!!!....”
Dia menabur-naburkan mainan dan
sampah. Dia seperti orang kesurupan, mengamuk-ngamuk. setelah itu, dia
melompat-lompat, lau menjerit sambil berkeliling, mengucapkan.
“Tuhan! Aku muak hidup ini, hidup ini serba susah!!!”
“Tuhan! Aku muak hidup ini, hidup ini serba susah!!!”
Dan
pada ahkirnya, dia meninju rumah itu, lalu secara perlahan rumah itu roboh,
tanpa disadari orang itu, bahwa rumah itu perlahan roboh.
“Aaaaaaaaaaaaa……………”
Orang itu berteriak, sehingga orang
itu ter kubur pada rumah itu.
“ternyata hidup ini tidak ada yang
enak, semuanya serba susah…. Lebih baik aku mati sajaaaaaaa………….”
Jumat, 13 Maret 2015
MEMANDANG TEATER ABSURDISME DAN REALISME
MEMANDANG TEATER ABSURDISME DAN
REALISME
Oleh: Sufyan Ts
Beberapa hal yang akan saya sampaikan pada catatan
ini, yaitu tentang aliran teater absurd dan realis. Pada kebiasaan di Annuqayah
khususnya, absurd yaitu sesuatu gerak yang tidak dimengerti atau bisa saja
memiliki makna. Dan sebaimana yang disebut realis adalah bisa dimengerti,
menampilkan realitas, dan yang berdialog. Pada hakikatnya teater absurd dan
realis itu tidak selalu apa yang kita pikirkan selama ini. Banyak yang harus
saya bicarakan tentang hal ini, di mana cara memandang realisme dan absurdisme.
Hal-hal Lain Tentang
Teater Absurdisme
Bisa dikatakan bahwa teater absurd itu adalah
penyimbolan dari sesuatu, namun di sisi lain banyak pengertian tentang teater
absurd—tidak hanya penyimbolan. Cenderung kita memahami teater absurd itu yang
tidak dimengerti oleh akal, padahal kalau dipahami, teater absurd sangat
rasional, apabila memahami lebih dalam.
Munculnya teater absurd karena ketidakpuasan
terhadap aliran-aliran sebelumnya. Seperti; ekspresionisme, simbolisme,
romantik, dan neoklasik. Seperti yang kita bayangkan teater absurd berarti
‘tidak rasional’—tidak akan pernah terjadi, tak bisa dipikirkan. Aliran absurd
ini selalu menyimpang dari realitas apa yang ada di dunia, kontradiksi dari apa yang selalu terjadi. Kaum absurd menyarankan
kebenaran atau kerasionalan sama dengan kebenaran yang terdiri di dalamnya,
maksudnya hal yang tak nyata menjadi sebuah kebenaran dalam dunia absurd.
Beberapa tokoh aliran absurdisme di antaranya;
Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Arthur Adamov, Friedriech Durrenmatt. Juga di antaranya tokoh
absurdisme di Indonesia; Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Arifin C Noer.
Aliran absurdisme ini muncul pertama kali di Perancis sesudah perang
dunia II. Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang
ditulis oleh Albert Camus dengan judul Lemyth De Syiphe serta novelnya L’estranger.
Ciri-ciri lakon absurd biasanya menampakkan segala dialog natar tokoh yang
melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak
ada pemecahan masalah secara tuntas, penyajian tokoh dalam keadaan tertindih
oleh yang tak dapat dijelaskan. Teater absurd di dalamnya mengandung tragedi
dan komedi. Lakon teater absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan.
Soemanto berpendapat bahwa walaupun lakon teater absurd ditulis
berbentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata
dan anti sastra, dan dibayangkan secara sketsa dramatiknya. Ini yang menjadikan
sifat lakon teater absurd paradoksal.
Menyikapi Realisme dari Kehidupan Sehari-hari
Aliran realisme ini berkembang sejak 1850-an, muncul pertama kali di
Perancis. Aliran realisme muncul karena ada beberapa sebab, yaitu
ketidakpuasaan aliran romantik. Hermawan membagi aliran realisme menjadi dua,
yaitu realisme sosial dan realisme psikologi. Kebiasaan aliran realisme sosial
ciri-cirinya diperankan oleh rakyat jelata (petani, buruh, dsb). Dan kalau
realisme psikologi ditekankan pada unsur kejiwaan.
Tujuan awal menampilkan sebuah realisme, yaitu bagaimana penonton lupa
bahwa mereka sedang menonton pertunjukan. Ketika seperti itulah realisme yang
berhasil membuat panggung menjadi tempat kehidupan. Jika realisme itu tak
dimengerti oleh penontonnya, maka segala apa yang diperankan itu gagal, dan
menjadikan panggung gelap. Kekreatifan realisme ini menyihir penonton untuk
beraduk ke dalam pementasan.
Untuk aliran realisme menjadi lebih baik, unsur-unsur yang digunakan
mengambil dari kehidupan sehari-hari manusia, apabila realisme menyimpang dari
kehidupan sehari-hari, maka tidak lagi disebutkan realisme, melainkan
absurdisme. Bagaimana pun realisme diambil dari kehidupan sehari-hari, namun
harus ada peristiwa, konflik yang akan dilakukan oleh pemeran. Untuk realisme
menjadi segar, seperti properti, musik, pembicaraan, kostum, dan tata panggung
harus menggunakan yang dilihat dan didengarkan sehari-hari oleh manusia, apa
yang telah dilihat dan didengar sehari-hari, di situlah letak unsur-unsur
realisme yang baik.
Mengenai tokoh-tokoh realisme di antaranya: Hendrik Ibsen, George Bernard
Shaw, August Strindberg, Eugene O’Neill.***
Daftar Bacaan:
Dewojati, Cahyaningrum. 2012.
Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya.
Jakarta: Penerbit Javakarsa Media.
Dan sumber terpilih lainnya.
*) Tulisan ini disampaikan dalam diskusi mingguan teater SäKSI edisi 22 Februari 2015
Senin, 09 Februari 2015
Rabu, 11 Juni 2014
Jumat, 27 September 2013
Jumat, 20 September 2013
Langganan:
Postingan (Atom)