hidup dan mati di antara dua persaksian

Jumat, 13 Maret 2015

MEMANDANG TEATER ABSURDISME DAN REALISME


MEMANDANG TEATER ABSURDISME DAN REALISME
Oleh: Sufyan Ts

Beberapa hal yang akan saya sampaikan pada catatan ini, yaitu tentang aliran teater absurd dan realis. Pada kebiasaan di Annuqayah khususnya, absurd yaitu sesuatu gerak yang tidak dimengerti atau bisa saja memiliki makna. Dan sebaimana yang disebut realis adalah bisa dimengerti, menampilkan realitas, dan yang berdialog. Pada hakikatnya teater absurd dan realis itu tidak selalu apa yang kita pikirkan selama ini. Banyak yang harus saya bicarakan tentang hal ini, di mana cara memandang realisme dan absurdisme.
                                                                                                        
Hal-hal Lain Tentang Teater Absurdisme

Bisa dikatakan bahwa teater absurd itu adalah penyimbolan dari sesuatu, namun di sisi lain banyak pengertian tentang teater absurd—tidak hanya penyimbolan. Cenderung kita memahami teater absurd itu yang tidak dimengerti oleh akal, padahal kalau dipahami, teater absurd sangat rasional, apabila memahami lebih dalam.

Munculnya teater absurd karena ketidakpuasan terhadap aliran-aliran sebelumnya. Seperti; ekspresionisme, simbolisme, romantik, dan neoklasik. Seperti yang kita bayangkan teater absurd berarti ‘tidak rasional’—tidak akan pernah terjadi, tak bisa dipikirkan. Aliran absurd ini selalu menyimpang dari realitas apa yang ada di dunia, kontradiksi dari apa yang selalu terjadi. Kaum absurd menyarankan kebenaran atau kerasionalan sama dengan kebenaran yang terdiri di dalamnya, maksudnya hal yang tak nyata menjadi sebuah kebenaran dalam dunia absurd.

Beberapa tokoh aliran absurdisme di antaranya; Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Arthur Adamov, Friedriech Durrenmatt. Juga di antaranya tokoh absurdisme di Indonesia; Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Arifin C Noer.

Aliran absurdisme ini muncul pertama kali di Perancis sesudah perang dunia II. Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul Lemyth De Syiphe serta novelnya L’estranger. Ciri-ciri lakon absurd biasanya menampakkan segala dialog natar tokoh yang melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas, penyajian tokoh dalam keadaan tertindih oleh yang tak dapat dijelaskan. Teater absurd di dalamnya mengandung tragedi dan komedi. Lakon teater absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan.

Soemanto berpendapat bahwa walaupun lakon teater absurd ditulis berbentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, dan dibayangkan secara sketsa dramatiknya. Ini yang menjadikan sifat lakon teater absurd paradoksal.

Menyikapi Realisme dari Kehidupan Sehari-hari

Aliran realisme ini berkembang sejak 1850-an, muncul pertama kali di Perancis. Aliran realisme muncul karena ada beberapa sebab, yaitu ketidakpuasaan aliran romantik. Hermawan membagi aliran realisme menjadi dua, yaitu realisme sosial dan realisme psikologi. Kebiasaan aliran realisme sosial ciri-cirinya diperankan oleh rakyat jelata (petani, buruh, dsb). Dan kalau realisme psikologi ditekankan pada unsur kejiwaan.

Tujuan awal menampilkan sebuah realisme, yaitu bagaimana penonton lupa bahwa mereka sedang menonton pertunjukan. Ketika seperti itulah realisme yang berhasil membuat panggung menjadi tempat kehidupan. Jika realisme itu tak dimengerti oleh penontonnya, maka segala apa yang diperankan itu gagal, dan menjadikan panggung gelap. Kekreatifan realisme ini menyihir penonton untuk beraduk ke dalam pementasan.

Untuk aliran realisme menjadi lebih baik, unsur-unsur yang digunakan mengambil dari kehidupan sehari-hari manusia, apabila realisme menyimpang dari kehidupan sehari-hari, maka tidak lagi disebutkan realisme, melainkan absurdisme. Bagaimana pun realisme diambil dari kehidupan sehari-hari, namun harus ada peristiwa, konflik yang akan dilakukan oleh pemeran. Untuk realisme menjadi segar, seperti properti, musik, pembicaraan, kostum, dan tata panggung harus menggunakan yang dilihat dan didengarkan sehari-hari oleh manusia, apa yang telah dilihat dan didengar sehari-hari, di situlah letak unsur-unsur realisme yang baik.

Mengenai tokoh-tokoh realisme di antaranya: Hendrik Ibsen, George Bernard Shaw, August Strindberg, Eugene O’Neill.***



Daftar Bacaan:

Dewojati, Cahyaningrum. 2012. Drama:  Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Javakarsa Media.
Dan sumber terpilih lainnya.


*) Tulisan ini disampaikan dalam diskusi mingguan teater SäKSI edisi 22 Februari 2015

Senin, 09 Februari 2015

Text Widget

Copyright © teater saksi | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com