MEMANDANG TEATER ABSURDISME DAN
REALISME
Oleh: Sufyan Ts
Beberapa hal yang akan saya sampaikan pada catatan
ini, yaitu tentang aliran teater absurd dan realis. Pada kebiasaan di Annuqayah
khususnya, absurd yaitu sesuatu gerak yang tidak dimengerti atau bisa saja
memiliki makna. Dan sebaimana yang disebut realis adalah bisa dimengerti,
menampilkan realitas, dan yang berdialog. Pada hakikatnya teater absurd dan
realis itu tidak selalu apa yang kita pikirkan selama ini. Banyak yang harus
saya bicarakan tentang hal ini, di mana cara memandang realisme dan absurdisme.
Hal-hal Lain Tentang
Teater Absurdisme
Bisa dikatakan bahwa teater absurd itu adalah
penyimbolan dari sesuatu, namun di sisi lain banyak pengertian tentang teater
absurd—tidak hanya penyimbolan. Cenderung kita memahami teater absurd itu yang
tidak dimengerti oleh akal, padahal kalau dipahami, teater absurd sangat
rasional, apabila memahami lebih dalam.
Munculnya teater absurd karena ketidakpuasan
terhadap aliran-aliran sebelumnya. Seperti; ekspresionisme, simbolisme,
romantik, dan neoklasik. Seperti yang kita bayangkan teater absurd berarti
‘tidak rasional’—tidak akan pernah terjadi, tak bisa dipikirkan. Aliran absurd
ini selalu menyimpang dari realitas apa yang ada di dunia, kontradiksi dari apa yang selalu terjadi. Kaum absurd menyarankan
kebenaran atau kerasionalan sama dengan kebenaran yang terdiri di dalamnya,
maksudnya hal yang tak nyata menjadi sebuah kebenaran dalam dunia absurd.
Beberapa tokoh aliran absurdisme di antaranya;
Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Arthur Adamov, Friedriech Durrenmatt. Juga di antaranya tokoh
absurdisme di Indonesia; Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Arifin C Noer.
Aliran absurdisme ini muncul pertama kali di Perancis sesudah perang
dunia II. Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang
ditulis oleh Albert Camus dengan judul Lemyth De Syiphe serta novelnya L’estranger.
Ciri-ciri lakon absurd biasanya menampakkan segala dialog natar tokoh yang
melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak
ada pemecahan masalah secara tuntas, penyajian tokoh dalam keadaan tertindih
oleh yang tak dapat dijelaskan. Teater absurd di dalamnya mengandung tragedi
dan komedi. Lakon teater absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan.
Soemanto berpendapat bahwa walaupun lakon teater absurd ditulis
berbentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata
dan anti sastra, dan dibayangkan secara sketsa dramatiknya. Ini yang menjadikan
sifat lakon teater absurd paradoksal.
Menyikapi Realisme dari Kehidupan Sehari-hari
Aliran realisme ini berkembang sejak 1850-an, muncul pertama kali di
Perancis. Aliran realisme muncul karena ada beberapa sebab, yaitu
ketidakpuasaan aliran romantik. Hermawan membagi aliran realisme menjadi dua,
yaitu realisme sosial dan realisme psikologi. Kebiasaan aliran realisme sosial
ciri-cirinya diperankan oleh rakyat jelata (petani, buruh, dsb). Dan kalau
realisme psikologi ditekankan pada unsur kejiwaan.
Tujuan awal menampilkan sebuah realisme, yaitu bagaimana penonton lupa
bahwa mereka sedang menonton pertunjukan. Ketika seperti itulah realisme yang
berhasil membuat panggung menjadi tempat kehidupan. Jika realisme itu tak
dimengerti oleh penontonnya, maka segala apa yang diperankan itu gagal, dan
menjadikan panggung gelap. Kekreatifan realisme ini menyihir penonton untuk
beraduk ke dalam pementasan.
Untuk aliran realisme menjadi lebih baik, unsur-unsur yang digunakan
mengambil dari kehidupan sehari-hari manusia, apabila realisme menyimpang dari
kehidupan sehari-hari, maka tidak lagi disebutkan realisme, melainkan
absurdisme. Bagaimana pun realisme diambil dari kehidupan sehari-hari, namun
harus ada peristiwa, konflik yang akan dilakukan oleh pemeran. Untuk realisme
menjadi segar, seperti properti, musik, pembicaraan, kostum, dan tata panggung
harus menggunakan yang dilihat dan didengarkan sehari-hari oleh manusia, apa
yang telah dilihat dan didengar sehari-hari, di situlah letak unsur-unsur
realisme yang baik.
Mengenai tokoh-tokoh realisme di antaranya: Hendrik Ibsen, George Bernard
Shaw, August Strindberg, Eugene O’Neill.***
Daftar Bacaan:
Dewojati, Cahyaningrum. 2012.
Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya.
Jakarta: Penerbit Javakarsa Media.
Dan sumber terpilih lainnya.
*) Tulisan ini disampaikan dalam diskusi mingguan teater SäKSI edisi 22 Februari 2015